Minggu, 19 Mei 2013

Benny Wenda : ‘Duta Besar’ Papua Barat Untuk Kerajaan Inggris Raya


Baru beberapa hari berlalu sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat akun twitter resminya @SBYudhoyono melempar tweet ke linimasa,
Pemerintah Inggris menyatakan tetap dukung NKRI. Namun, kegiatan di Oxford itu akan mengganggu hubungannya dengan Indonesia
Sebuah kicauan yang lumayan memancing perhatian manusia di dunia maya. Sebagian besar masih belum paham apa yang terjadi. Kicauan bernada resah dari seorang pemimpin negara yang memperjelas keresahan yang sudah (pasti) dilempar terlebih dahulu oleh media.
Sudah hampir setengah abad konflik Jakarta – Irian Jaya berlangsung. Selain kontak fisik yang sudah terjadi berulang-ulang-ulang-ulang kali, tidak ada titik temu berarti antara kedua pihak di jalur diplomasi. Ketika pihak TNI masih pelan – pelan berusaha memberangus antek – antek separatis tersebut, Papua Barat (tentu saja lewat TPN dan OPM-nya) secara mengejutkan membuka kantor milik sendiri di Kota Oxford, Inggris. Pembukaan kantor tersebut tak lepas dari peran besar Benny Wenda.

Siapakah Benny Wenda?

Ya, memang dia tak setenar nama – nama seperti Theys Heyo Eluay atau Kenny Kwalik, tapi andil dia tidak kalah besar dari dua nama tersebut. Benny Wenda bergerak sebagai sayap OPM di Eropa Barat. Dia gencar bergerak di sektor propaganda media, dunia maya, dan sektor – sektor virtual lainnya untuk menghantam Pemerintah dan menyuarakan pembebasan Papua Barat.

Perubahan fase hidup seorang Benny Wenda dari seorang warga biasa menjadi seorang aktor pergerakan berawal pada 1977 ketika desanya dimasuki oleh pasukan militer. Dikutip dari sebuah media, Benny Wenda menyatakan perlakuan tentara terhadap warga sangatlah keji. Dalam situsnya, bennywenda.org, dia juga mengaku kehilangan satu kakinya dalam sebuah serangan udara. Keluarganya memilih bergabung dengan Indonesia, namun tidak halnya dengan Benny. 

Setelah runtuhnya Orde Baru, gerakan referendum dari rakyat Irian Jaya yang menuntut pembebasan dari RI kembali bergelora. Dan saat itu, Benny Wenda melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Irian Jaya. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Irian Jaya. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.












Foto Benny Wenda sedang mengenakan pakaian adat Irian Jaya

Lobi-lobi terus dia usahakan sampai akhirnya di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pemberlakuan otonomi khusus adalah pilihan politik yang layak untuk Irian Jaya dan tak ada yang lain. Saat itu sekitar tahun 2001, ketegangan kembali terjadi di tanah Irian Jaya. Operasi militer menyebabkan ketua Presidium Dewan meninggal. Wenda terus berusaha memperjuangkan kemerdekaan Irian Jaya, yang dia dan para pengikutnya sebut Papua Barat.

Pertentangan Wenda berbuntut serius. Dia kemudian dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura. Selama di tahanan, Wenda mengaku mendapatkan penyiksaan serius. Dia dituduh berbagai macam kasus, Salah satunya disebut melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

Kasus itu kemudian di sidang pada 24 September 2002. Wenda dan tim pembelanya menilai persidangan ini cacat hukum.

Pengadilan terus berjalan, sampai pada akhirnya Wenda dikabarkan berhasil kabur dari tahanan pada 27 Oktober 2002. Dibantu aktivis kemerdekaan Papua Barat, Benny diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris di mana ia diberikan suaka politik. Dan sejak tahun 2003, Benny dan istrinya Maria serta anak-anaknya memilih menetap di Inggris.

Sampai saat ini, dari Inggris Benny Wenda masih aktif berkampanye di luar negeri. Bahkan berita terbaru menyatakan dia juga siap membuka ‘kedutaan’ lainnya, yakni di Papua Nugini.
Nampaknya, dengan dicabutnya sanksi dari Interpol yang dikenakan ke dirinya 2 tahun belakangan benar – benar membuatnya kembali agresif dan tajam.
____________________________________________________________________________
( @adityaknz )
hammerchicken.blogspot.com

* penulis sengaja tidak menyebut tanah Irian Jaya sebagai Papua, karena Irian Jaya tetaplah Irian Jaya. Saya orang Indonesia.

Rabu, 10 April 2013

Pemimpin, Budaya, Jakarta



“Kalau ingin menjadi gubernur yang baik di Jakarta, masalah kebudayaan harus diurus. Meskipun bukan budayawan, feeling-feeling terhadap kebudayaan harus ada.” – Ali Sadikin
Kutipan kalimat di atas disampaikan mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta periode 1966 – 1977, Ali Sadikin, saat peresmian Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, 30 Mei 1978. Bagi sebagian besar generasi muda saat ini, nama Ali Sadikin mungkin terdengar agak asing di telinga. Tapi jangan pernah memandang remeh beliau. Beliau merupakan salah satu gubernur terbaik yang pernah dimiliki ibukota, bahkan banyak yang meyakini beliau merupakan yang terbaik.
Tentu bukan tanpa alasan bila Bang Ali (panggilan akrab Ali Sadikin,red.) mengingatkan kepada gubernur - gubernur penerusnya untuk terus memperhatikan masalah kebudayaan di ibukota, agar kota yang menjadi titik temu beragam suku bangsa di Nusantara ini memiliki wajah yang humanis, beradab, dan tidak eksploitatif, seperti yang terpampang sekarang ini.
Bang Ali tidak hanya memberikan janji-janji kosong. Berbeda dengan mayoritas pemimpin – pemimpin penerusnya yang menggunakan kebudayaan sebagai alat kampanye, topeng, pencitraan, atau apalah itu sebutannya untuk mengeruk simpati warga lokal dan menggaet massa dalam jumlah masif. Pada masa kepemimpinannya, sekitar tahun 1968, Jakarta memperkenalkan pusat kesenian yang dikenal dengan nama Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jalan Cikini Raya. Areal yang sebelumnya merupakan kebun binatang itu dia sulap menjadi pusat kegiatan seni, sementara kebun binatang dipindahkan ke daerah Ragunan, Jakarta Selatan.
Persija Jakarta, klub sepak bola tradisional yang menjadi ikon lokal dan telah melebur menjadi kultur di ibukota, dibawanya berjaya dengan 2x menjuarai Liga Perserikatan PSSI (liga sepak bola tertinggi Indonesia pada saat itu,red.) pada 1973 dan 1975, serta menjadi runner-up pada tahun 1974.
Selain itu, atas usulan seniman-seniman ternama pada waktu itu, seperti Trisno Sumardjo, Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, Wahyu Sihombing, dan Djajakusuma, di lokasi TIM juga didirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang kemudian bermetamorfosis menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Pada masa Ali Sadikin pula gelanggang remaja dibangun di lima wilayah di Jakarta, seperti Gelanggang Remaja Bulungan, Planet Senen, Grogol, Kampung Melayu, serta di Kebon Bawang, Jakarta Utara. Cukup banyak seniman besar Indonesia pada masa itu lahir dari sana, contohnya Radhar Panca Dahana, Anto Baret, Teguh Esha, dan Neno Warisman.
Kini gelanggang remaja itu sudah kehilangan daya magisnya ditenggelamkan kerasnya kehidupan sekitar dan termakan waktu, seiring dengan semakin lunturnya kultur lokal di Jakarta. Miris. Di saat mata kita dipaksa untuk melihat Ondel-Ondel dan Bajidor hanya berfungsi sebagai media pengumpul uang receh dan ribuan. Ngamen. Miris. Di saat kondisi sekitar sukses menggiring anak – anak muda di Jakarta untuk lebih menggandrungi tim – tim sepak bola luar negeri macam Barcelona, Real Madrid, atau Manchester United, sementara Persija Jakarta dianggap sampah dan bukan kelas mereka. Miris. Di saat kondisi sekitar menggambarkan dengan jelas kecintaan remaja Jakarta terhadap Stand-Up Comedy yang jauh lebih besar daripada terhadap Lenong.
Pemilihan umum belum genap setahun dihelat. Dua sosok pendatang baru berhasil menikung sang incumbent untuk turun dari singgasananya. Datang dan berhasil menang dengan nama besar, mereka bilang mereka bisa mendatangkan cahaya baru bagi abu – abunya asap sosial di ibukota. Mampukah? Harus mampu!